Pages

Total Tayangan Halaman

Selasa, 31 Juli 2012

SENIOR BICARA TENTANG SATU JARI


Selasa, 26 Juli 2011

Biarkan “Perang Bubat” Berlanjut

UMUMNYA sejarah “Perang Bubat” yang diungkapkan dalam bentuk novel atau prosa liris, hampir sama, menceritakan tentang gagalnya pernikahan Dyah Pitaloka (Citraresmi) dengan Hayam Wuruk akibat pengkhianatan Mahapatih Gajah Mada. Tokoh Gajah Mada menjadi sosok yang dibenci urang Sunda karena Gajah Mada dianggap berkhianat kepada rajanya, Prabu Hayam Wuruk. Dengan tipu daya untuk menyulut amarah Linggabuwana, Gajah Mada meminta agar Pitaloka – yang tadinya akan dijadikan permaisuri Hayam Wuruk, agar diserahkan sebagai upeti. Gajah Madalah yang mengobarkan api peperangan, ketika hati Maharaja Linggabuwana (ayah Pitaloka) terluka, merasa dihina dan direndahkan, lalu memilih untuk melawan karena tidak mau menyerahkan putrinya sebagai upeti. Peperangan yang tak seimbang itu, tentu saja lebih merupakan sebuah pembantaian. Maharaja Linggabuwana, permaisuri, dan pasukan pengawalnya gugur di Bubat. Sementara Pitaloka memilih bunuh diri demi harga diri. Satu-satunya pengawal yang berhasil lolos adalah Pitar. Kisah tragis itu membuat banyak urang Sunda yang kanyenyerian, sakit hati, dan perasaan itu tetap terpelihara, hingga sekarang.

Rabu, 04 Mei 2011

Buat kalian yang pengen tau tipe kepribadian diri, coba liat apa kalian koleris,melankolis,plegmatis,atau sanguinis
Berikut akan dituliskan tentang kekuatan dan kelemahan yang ada dalam diri kalian sendiri

Jumat, 29 April 2011

Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda

Oleh DADAN WILDAN

tradisi sunda
Ti meletuk datang ka meleték
ti segir datang ka segir deui
lamun dirobah buyut kami
lamun hujan liwat ti langkung
lamun halodo liwat ti langkung
tangsetna lamun buyut dirobah
cadas maléla tiis
buana larang, buana tengah, buana nyungcung
pinuh ku sagara (Pikukuh Baduy).

Kebudayaan Sunda Dilihat Dari Kajian Islam

Oleh: H.R.Hidayat Suryalaga
Purwa wacana:
Bismillahirrohmannirrohim,
Suatu kehormatan teramat besar bagi saya diperkenankan berbincang dengan para petinggi dari jajaran Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. Pada kesempatan yang demikian mulia dan bermakna, seyogyanyalah saya menghaturkan “sesuatu” yang jauh lebih mendasar, holistik bersifat Visioner disertai beberapa contoh  aplikasi-aktualisasi kebudayaan Sunda yang Islami sebagai suatua tarekah mewujudkan masyarakat Sunda MADANI yang MARDOTILLAH

Rabu, 27 April 2011

Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan

Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan
Oleh ASEP AHMAD HIDAYAT
BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Selasa, 18 Januari 2011

Cokroaminoto, Guru Segala Guru

Adalah jalan sejarah jika Sukarno kecil dititipkan di keluarga Oemar Said (H.O.S.) Cokroaminoto di Gang Peneleh, Surabaya. Adalah suratan takdir jika kemudian Sukarno menjadi salah satu murid kesayangan Cokroaminoto. Adalah sebuah keniscayaan jika kemudian Sukarno menjadi tokoh nasionalisme penting negeri ini.
Dalam banyak literatur, Bung Karno selalu menyebut nama Cokroaminoto sebagai guru sekaligus pujaannya di kala muda. Bung Karno tidak pernah menafikan peran Cokroaminoto yang menggembleng Sukarno muda dengan sekeras-kerasnya. Bung Karno sering membuntuti Cokro yang ketika itu berusia 30-an tahun, berkeliling dari satu daerah ke daerah lain, menjadi guru ngaji, tetapi juga menyelipkan pesan-pesan perjuangan, tebaran-tebaran semangat untuk merdeka, lepas dari penindasan bangsa Belanda.

Sukarno muda, dalam pergolakan jiwa remaja dengan nuansa cinta monyet, dalam iklim “gaul” ABG pada zamannya… sama sekali tidak mendapatkan itu secara sebebas-bebasnya. Di rumah, Cokro mendidiknya dengan keras. Hampir setiap hari, sepanjang malam, dan di kala senggang, Bung Karno duduk di dekat kaki Cokro, dan dialirkannya buku-buku ke pangkuan Sukarno. Ya… Cokro bukan figur pengganti ayah yang siap menerima keluh-kesah. Bukan figur ayah yang siap menerima pengaduan anaknya. Bukan pula figur ayah yang menghiburnya di kala sedih. Tapi itu pula yang menjadikan Sukarno akrab dengan literatur… dan banyak literatur lainnya di kemudian hari.